Wednesday, 25 November 2015

ASUHAN KEPERAWATAN GLOMERULONEFRITIS DAN PYELONEFRITIS


Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Anatomi Ginjal
1.      Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor)
di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa  berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.a
Ginjal
 Hasil gambar untuk GINJAL GAMBAR
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.  Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan  ginjal kiri untuk memberi tempat  lobus hepatis dexter yang besar.  Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores.
Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773).
2. Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
3.    Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus (Price, 1995).
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan ( Price, 1995).
4.    Persarafan Pada Ginjal
Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.
Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fisiologi Ginjal
Fungsi ginjal adalah
a)      memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
b)      mempertahankan  keseimbangan cairan tubuh,
c)      mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
d)     mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
e)     Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
f)     Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
g)    Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Tahap Pembentukan Urine :
1.      Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler
.
pembentukan-urine
2.      Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3.      Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

 Glomerulonefritis Akut (GNA)
1.      Definisi
Glomerulonefritis Akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.  Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman Streptococcus β hemolitikus grup A yang nefritogenik.
2.      Etiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 – 7 tahun dan lebih sering mengenai anak pria dibandingkan anak wanita.  Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49.
Hubungan antara GNA dan infeksi Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa :
1.  Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina.
2.   Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A.
3.   Meningkatnya titer anti – streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya GNA terdapat masa laten selama lebih kurang 10 hari.  Dari tipe tersebut di atas, tipe 12 dan 25 lebih bersifat netrifogen dari pada yang lain.  Mengapa tipe yang satu lebih bersifat nefritogen dari pada yang lain, tidaklah diketahui.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcus.  GNA juga dapat disebabkan oleh sifilis, keracunan (timah hitam, tridion), penyakit amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematous.
3.      Patogenesis
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1.    Terbentuknya kompleks antigen – antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2.    Proses autoimun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3.    Streptococcus nefritogen dan membrana basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.

4.      Gejala Klinis
Gambaran klinis dapat bermacam – macam.  Kadang – kadang gejala ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat.  Gejala yang sering ditemukan ialah hematuria / kencing berwarna merah daging.  Kadangkala disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Pasien kadang – kadang datang dengan gejala gagal jantung kongestif atau sembab paru.  Hipertensi sering dijumpai bahkan terlihat ensefalopati hipertensif yang ditunjukkan dengan adanya gejala sakit kepala, muntah, letargi, disorientasi dan kejang.  Oliguria serta anuria tidak jarang dikeluhkan beberapa pasien menampakkan gejala anemia.  Umumnya edema berat terdapat oligouria dan bila ada gagal jantung.  Hipertensi terdapat pada 60 – 70 % anak dengan GNA pada hari I, kemudian pada akhir minggu I menjadi normal kembali.  Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis.  Hipertensi ini timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal dan berhubungan dengan gejala serebrum dan kelainan jantung.  Suhu badan tidak seberapa tinggi tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama.  Kadang – kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya.  Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita glomerulonefritis akut.
Selama fase akut terdapat vasokontriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus pun menjadi kurang.  Filtrasi air, garam, ureum dan zat – zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat.  Fungsi tubulus hati relatif kurang terganggu.  Ion natrium dan air diresorpsi kembali sehingga diuresis mengurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium mengurang, ureumpun diresorpsi kembali lebih dari biasa.  Akhirnya terjadi insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hidremia dan asidosis metabolik.
5.      Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).  Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis meninggi.  Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % penderita.  Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit dan hialin.
Albumin serum sedikit menurun, demikian juga komplemen serum (globulin beta – lC). Ureum dan kreatinin darah meningkat. Titer anti – streptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau infeksi Streptococcus yang mendahuluinya hanya mengenai kulit saja.  Uji fungsi ginjal normal pada 50 % penderita.
6.      Dasar Diagnosis
Penderita umumnya berumur lebih dari 4 tahun dan penyakit timbul biasanya 10 – 14 hari setelah infeksi Streptococcus beta hemolitikus golongan A di luar ginjal (saluran nafas bagian atas, kulit, telinga, dsb) yang kemudian diikuti dengan terjadinya gejala nefritis akut yang terdiri atas kelainann kemih (oligouria, hematuria, proteinura, silinder uria, granuler / eritrosit / leukosit, leukosituria), edema, hipertensi, sakit kepala, kelainan biokimiawi darah karena gangguan faal ginjal (meningkatnya kadar serum dan creatinin, dsb) dan kelainan parameter imunologik (meningkatnya ASTO, menurunnya komplemen C3 dan kadang – kadang C2 dan C4, meningkatnya kadar IgC) serta kelainan hematologik (anemia, kadang – kadang trombositopenia).
7.      Diagnosis
Diagnosis mudah ditegakkan bila hematuria yang terjadi didahului oleh infeksi saluran nafas akut atau piodermis 2 – 3 minggu sebelumnya dan disertai gejala edema dan atau hipertensi.  Pemeriksaan titer ASTO dan komplemen C3 dapat membantu diagnosis.
8.      Komplikasi
1.    Oliguira dan anuria dapat berlangsung 2 – 3 hari akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.  Meskipun oligouria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang – kadang diperlukan.
2.    Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi, disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3.    Gangguan sirkulasi berupa dispnoe, ortopnoe, terdapatnya ronkhi basah, pembesaran jantung, dan meningginya tekanan darah yang bukan saja karena hipertensi, juga karena volume plasma yang bertambah.
4.    Anemia karena hipervolemia selain sintesis eritropoetik yang menurun.
9.      Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
a.         Istirahat mutlak selama 3 – 4 minggu
dianjurkan istirahat selama 6 – 8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh.  Namun penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita setelah 3 – 4 minggu dari timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
b.         Pemberian penisilin pada fase akut
Pemberian antibiotik ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap.  Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, namun kemungkinan ini sangat kecil sekali.
c.         Makanan
Pada fase akut, diberi makanan rendah protein ( 1g / kgbb / hari) dan rendah garam (1 g  /hari).  Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.  Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10 %.  Pada penderita tanpa komplikasi, pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

10.  Manajemen Keperawatan 
ü  Bedrest total selama 3 – 4 minggu
ü  Diet rendah protein (1 g/kg BB/hari ) dan rendah garam (1 g/hari ) sampai level uremia dan protein normal
ü   Monitor TTV
ü  Jika suhu tubuh meningkat secara mendadak, segera dilakukan pengukuran suhu ekstra dan kompres dingin
ü  Jika terdapat gejala disnea atau orthopnea dan teerlihat lemah ssegera beri posisi fowler dan berikan oksigen.
ü  Menimbang berat badan setiap hari
v Anjurkan klien untuk minum air putih ssebaanyak 1500 – 2000 ml/ hari
v Apabila urine < 300 ml dianjurkan mencatat intake dan output selama 24 jam.

GLOMERULONEFRITIS KRONIK

1.      Pengertian 
Glomerulonefritis kronik adalah suatu gejala yang menggambarkan penyakit peradangan pada glomerulos tahap akhir, yang ditandai dengan kerusakan glomerulos secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang perkembangannya perlahan - lahan dan membahayakan serta berlangsung lama (10 – 30 tahun).

2.      Etiologi 
Penyakit ini timbul tanpa diketahui asal usulnya, dan biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala – gejala insufiensi ginjal timbul (ginjal atrofi). Manifestasi renal karena penyakit – penyakit sistemik seperti : SLE, DM, Amyloid disease. GNK merupakan penyebab utama penyakit renal tahap akhir.

3.      Patofisiologi
GNK memiliki karakteristik kerusakan glomerulos secara progresif lambat dan kehilangan filtrasi renal secara perlahan – lahan. Ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak korteks, menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejulah glomerulus dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut dan cabang – cabang arteri menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir.

4.      Patogenesis 
Tidak diketahui namun terjadi perubahan pada parenkim ginjal berhubungan dengan hipertensi infeksi intermitan atau sering kambuh pada parenkim. Tampilannya jaringan ginjal atrofi dan fungsi masa nefron menurun secara bermakna, parenkim cortex tipis tetapi calculus dan pelvis normal, pada biopsi atrofi tahap akhir menunjukan hyalinisasi glomerulus, tubulus berkurang, fibrosis intersititium, pada pemeriksaan mikroskopik terdapat efek – efek sisa endapan immune kompleks.

5.      Manifestasi Klinik
ü  Proteinuria, hematuria
ü  Hipertensi, malaise, kehilangan BB, polyuria dan nocturia
ü  Sakit kepala, pusing, dan pada umumnya terjadi gangguan pencernaan
ü  Edema, susah bernapas, angina, hematuria, anemia

6.      Manajemen Medik
ü  Dialisis, transplant, dan kontrol gejala – gejala seperti edema dan hipertensi
ü  Berikan obat anti – inflamatori dan anti koagulan

7.      Manajemen Keperawatan
ü  Kaji gejala – gejala yang timbul
ü   Berikan support
ü  Monitor tanda dan gejala dari komplikasi

 
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS
I. Pengkajian
·         Aktivitas atau istirahat
-        Gejala        : keletihan, kelemahan, malaise.
-        Tanda        : kelemahan otot, kehilangan tonus otot.
·         Sirkulasi
-        Tanda       : hipertensi, disritmia jantung, nadi lemah atau halus, hipertensi ortostatik (hipovolemia), oedema, jaringan umum pucat, kecenderungan pendarahan.
·         Eliminasi
-        Gejala      : Perubahan pola berkemih, disuria, adanya keraguan terhadap dorongan untuk miksi sehingga menyebabkan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung, diare/konstipasi
-        Tanda       : terjadinya perubahan warna pada urine, contoh: kuning pekat, coklat, berawan, mengalami oliguria (12-21 hari) dan poliuria (25 L/hari)
·         Nutrisi
-        Gejala      : terjadi peningkatan berat badan (oedema), mual, muntah, anoreksia, penggunaan diuretic.
-        Tanda       : terjadi perubahan tugor pada kulit/kelembaban, oedema (umum dan bagian bawah)
·         Neurosensori
-        Gejala      : sakit kepala, penglihatan kabur
-        Tanda       : penurunan tingkat kesadaran, kejang, faskikulasi otot, aktivitas kejang
·         Nyeri/keamanan
-        Gejala      : nyeri tubuh, sakit kepala
-        Tanda       : perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
·         Pernafasan
-        Gejala      : nafas pendek
-        Tanda       : takipnea, dipsnea, batuk produktif dengan sputum kental merah muda (oedema paru)


II. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
  1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan retensi air dan hipernatremia
    1. Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai dengan tekanan darah dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada tanda-tanda hipernatremia.
    2. Intervensi :
      1. Monitor dan catat Tekanan Darah setiap 1 – 2 jam perhari selama fase akut.
        Rasional: untuk mendeteksi gejala dini perubahan Tekanan Darah dan menentukan intervensi selanjutnya.
      2. Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction
        Rasional: serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak
      3. Atur pemberian anti Hipertensi, monitor reaksi klien.
        Rasional: Anti Hipertensi dapat diberikan karena tidak terkontrolnya Hipertensi yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
      4. Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N : 1 – 2 ml/kgBB/jam).
Rasional: Monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat menyebabkan tekanan darah meningkat.
      1. Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap 8 jam.
        Rasional: Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status neurologis, memudahkan intervensi selanjutnya.
      2. Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
        Rasional: Diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.

  1. Peningkatan volume cairan berhubungan dengan oliguri
    1. Kriteria Evaluasi: Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai dengan urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.
    2. Intervensi :
      1. Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
        Rasional: Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan, penurunan output urine merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
      2. Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak laki-laki cek adanya pembengkakan pada skrotum
        Rasional: Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum merupakan indikasi adanya ascites.
      3. Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila menggunakan tiazid/furosemide.
        Rasional: Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan penanganan pemberia potassium.
      4. Monitor dan catat intake cairan.
        Rasional: Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan penurunan laju filtrasi glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan intake sodium.
      5. Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
        Rasional: Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein sebagai indikasi adanya penurunan perfusi ginjal.
      6. Monitor hasil tes laboratorium
        Rasional: Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin indikasi adanya gangguan fungsi ginjal.

  1. Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan anorexia.
    1. Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
    2. Intervensi :
      1. Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
        Rasional: Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
      2. Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
        Rasional: Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu makan.
      3. Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
        Rasional: Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

  1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue.
    1. Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas ditandai dengan adanya kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu beraktivitas.
    2. Intervensi :
      1. Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
        Rasional: Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi untuk menurunkan produksi dari sisa metabolisme yang dapat meningkatkan stress pada ginjal.
      2. Sediakan / ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang sesuai dengan perkembangan klien.
        Rasional: Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi dan mencegah kebosanan.
      3. Buat rencana / tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan pada saat klien sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
        Rasional: Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.

  1. Gangguan istirahat tidurberhubungan dengan immobilisasi dan edema.
    1. Kriteria / Evaluasi: Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai dengan kulit tidak pucat, tidak ada kemerahan, tidak ada edema dan keretakan pada kulit/bersisik.
    2. Intervensi :
      1. Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
        Rasional: Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
      2. Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
Rasional: Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi, penurunan resiko terjadi kerusakan kulit.
      1. Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
        Rasional: Deodoran / sabun berparfum dapat menyebabkan kulit kering, menyebabkan kerusakan kulit.
      2. Dukung / beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami dema.
        Rasional: Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena untuk mengurangi pembengkakan.
      3. Jika klien laki-laki scrotum dibalut.
        Rasional: Untuk mengurangi kerusakan kulit
PIELONEFRITIS

1.  Definisi
Pielonefritis adalah infeksi saluran kemih ascending yang telah mencapai pyelum (panggul) dari ginjal (nephros''''dalam bahasa Yunani).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograde aliran ureterik ( J. C. E. Underwood, 2002: 668 )
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstisial dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002: 1436).
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal dari salah satu atau kedua ginjal yang bersifat  akut maupun kronis.
Inflamasi pelvis ginjal disebut Pielonefritis, penyebab radang pelvis ginjal yang paling sering adalah kuman yang berasal dari kandung kemih yang menjalar naik ke pelvis ginjal. Pielonefritis ada yang akut dan ada yang kronis (Tambayong. 200)

2. Etiologi
·         Bakteri (Escherichia coli, Klebsielle pneumoniac, Streptococus fecalis, dll). Escherichia coli merupakan penyebab 85% dari infeksi.
·         Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat
·         Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke dalam ureter.
·         Kehamilan
·         Kencing Manis
·         Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk malawan infeksi.

3. Patofisiologi
Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis.
Bakteri mencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% - 25% curah jantung, bakteri jarang mencapai ginjal melalui darah; kasus penyebaran secara hematogen kurang dari 3%.
Pielonefritis sering sebagai akibat dari refluks uretero vesikal, dimana katup uretrovresikal yang tidak kompeten menyebabkan urin mengalir balik(refluks) ke dalam ureter. Obstruksi traktus urinarius yang meningkatkan kerentanan ginjal terhadap infeksi), tumor kandung kemih, striktur, hyperplasia prostatik benigna, dan batu urinarius merupakan penyebab yang lain.
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E.coli menyebabkan sekitar 85% infeksi.
Pada pielonefritis akut,  inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis dan scaring. Pielonefritis kronis muncul stelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratif dan menjadi  atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.

4. Manifestasi klinis
Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah.
Beberapa penderita menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih.
Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut berkontraksi kuat.Bisa terjadi kolik renalis, dimana penderita merasakan nyeri hebat yang disebabkan oleh kejang ureter. Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena lewatnya batu ginjal.
Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk dikenali. Pada infeksi menahun (pielonefritis kronis), nyerinya bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali. 
Pielonefritis kronis hanya terjadi pada penderita yang memiliki kelainan utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak kecil).  Pielonefritis kronis pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal).
Pielonefritis akut: pasien pielonefritis akut mengalami demam dan menggigil, nyeri tekan pada kostovertebrel(CVA), Leokositosis, dan adanya bakteri dan sel darah putih dalam urin selain itu gejala saluran urinarius bawah seperti disuria dan sering berkemih umumnya terjadi. Infeksi saluran urinarius atas dikaitkan dengan selimut antibodi bakteri dalam urin.
Ginjal pasien pielonefritis biasanya membesar disertai infiltrasiinterstisial sel-sel inflamasi. Abses dapat di jumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kartiko medularis. Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus terjadi. Ketika pielonefritis menjadi kronis, ginjal membentuk jaringan parut, berkontraksi dan tidak berfungsi
Pielonefritis kronis:biasanya tanpa gejala infeksi, kecuali terjadi eksaserbasi. Tada-tanda utama mencakup keletiah sakit kepala, nafsumakan rendah, poliuria, haus yang berlebihan, dan kehilangan berat  badan. Infeksi yang menetap atau kambuh dapat menyebabkan jaringan parut progresif di ginjal disertai gagal ginjal pada akhirnya.
5.   Komplikasi 
Pielonefritis kronik: penyakit ginjal stadium akhir(mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut)hipertensi, danpembentukan batu ginjal (akibat  infeksi kronik disertai organisme pengurai-urea, yang mengakibatkan terbentuknya batu).
6. Pemeriksaan Penunjang
1.      Urinalisis
Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemi
Hematuria: hematuria- positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2.     Bakteriologis
Mikroskopis : satu bakteri lapangan pandang minyak emersi. 102 -103 organisme koliform / mL urin plus piuria
ü  Biakan bakteri
ü  Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji carik
3.     Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4.     Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
5.     Metode tes
ü  Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat).
ü  Tes esterase lekosit positif: maka pasien mengalami piuria.
ü  Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
6.     Penyakit Menular Seksual (PMS): Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
7.     Tes- tes tambahan :
ü  Urogram intravena (IVU).
ü  Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate.
ü  Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

7.   Penatalaksanaan
Pielonefritis Akut: pasien pielonefritis akut beresiko terhadap bakteremia dan memerlukan terapi antimikrobial yang intensif. Terapi parentral di berikan selama 24-48 jam sampai pasien afebril. Pada waktu tersebut, agens oral dapat diberikan. Pasien dengan kondisi yang sedikit kritis akan efektif apabila ditangani hanya dengan agens oral. Untuk mencegah berkembangbiaknya bakteri yang tersisa, maka pengobatan pielonefritis akut biasanya lebih lama daripada sistitis.
Maslah yangmungkin timbul dlam penanganan adalah infeksi kronik atau kambuhan yang muncul sampai beberapa bulan atau tahun tanpa gejala. Setelah program antimikrobial awal, pasien dipertahankan untuk terus dibawah penanganan antimikrobial sampai bukti adanya infeksi tidak terjadi, seluruh faktor penyebab telah ditangani dan dikendalikan, dan fungsi ginjal stabil. Kadarnya pada terapi jangka panjang.
Pielonefritis kronik: agens antimikrobial pilihan di dasarkanpada identifikasi patogen melalui kultur urin, nitrofurantion atau kombinasi sulfametoxazole dan trimethoprim dan digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri. Fungsi renal yang ketat, terutama jika medikasi potensial toksik.
8. Pengobatan
a. Terapi antibiotik untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif.
b. Apabila pielonefritis kronisnya di sebabkan oleh obstruksi atau refluks, maka diperlukan penatalaksanaan spesifik untuk mengatasi masalh-masalah tersebut.
c. Di anjurkan untuk dering munum dan BAK sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, untuk wanita harus membilas dari depan ke belakang untuk menghindari kontaminasi lubang urethra oleh bakteri faeces.

 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PIELONEFRITIS

1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian pada klien pielonefritis menggunakan pendekatan bersifat menyeluruh yaitu :
a) Anamnesis:
Pada umumnya memiliki beberapa gejala seperti demam dan mengigil. Dan akan merasa kesulitan untuk BAK yang akan menyebabkan nyeri karena adanya infeksi dan distensi kandung kemih. Akibat dari distensi pada kandung kemih sehingga lama kelamaan akan berdampak pada ginjal yang nantinya terjadi infeksi ginjal.
b) Kebutuhan istrahat dan aktifitas
Klien mengeluh demam, kesulitan BAK, sering terbangun pada malam hari untuk BAK, namun urine yang keluar sedikit.
c) Ditemukan adanya piuria dan bakteruiria pada saat pemeriksaan laboratorium.Terjadi kelemahan dan cemas. Pembengkakan pada kostvertebral (CVA)
d) Kebutuhan integritas pribadi
·         Klien mengungkapkan faktor-faktor stress yang panjang, dan kebutuhan akan pertolongan dan harapan
·         Dapat ditemukan perilaku denial (terutama pada tahap awal) dan kecemasan
e) Kebutuhan Kenyamanan/ Nyeri
·         Klien melaporkan adanya nyeri saat BAK
·         Dapat ditemukan perilaku melindungi bagian yang nyeri, distraksi, dan kurang istrahat/kelelahan
f) Kebutuhan pola eliminasi urine
·         Klien melaporkan susah untuk BAK, dan sering bangun malam hari
·         Dapat ditemukan pembengkakan di kostovertebral (CVA), bakteriuria dan piuria
·         Karakteristik urine : keruh, jumlah urine 800-1000 ml/24 jam, dengan bau yang tajam.
g) Kebutuhan Interaksi sosial
Klien mengungkapkan perasaan terisolasi karena penyakit yang diderita, perubahan pola peran.



2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1.      Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : - Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.

2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
3.      Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : - Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
 
DAFTAR PUSTAKA

Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta :EGC
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC
Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Barbara Engram, Volume I, Penerbit EGC, Jakarta 1998.

Terimakasih sudah membaca blog saya, tinggalkan komentar nya :D

No comments:

Post a Comment